Kisah Janda Sarfat Pada Natal 2024
Mungkin sebagian dari Anda pernah mendengar kisah ini, Janda dari Sarfat. Kisah ini hinggap kembali di saya di penghujung akhir tahun ini, mengenai Elia dan janda di Sarfat (1 Raja-raja 17:7-24).
Latar belakang kisah ini ketika bangsa Israel mengalami kekeringan dan hujan berhenti untuk sekian tahun lamanya, sehingga terjadi kelaparan hebat. Bahkan di tepi sungai Kerit, tempat di mana Elia bersembunyi, sungainya telah menjadi kering, sehingga atas perintah Tuhan Elia pergi ke Sarfat.
Sarfat bukan bagian dari wilayah Israel. Di Sarfat Elia bertemu dengan seorang janda. Janda Sarfat dalam kisah ini adalah seorang wanita miskin non-Israel (kemungkinan seorang penyembah dewa Baal seperti kebanyakan orang Fenisia), yang tinggal bersama anak laki-lakinya. Pada jaman itu janda menggambarkan kondisi sosial yang sangat rentan: merupakan beban sosial bagi masyarakatnya dan apa lagi hidup di tengah kelaparan.
Sebagai orang normal, kalau Elia ingin menggantungkan hidupnya di tengah bencana kekeringan dan kelaparan tersebut maka setidaknya ia berharap dan mendatangi orang paling kaya di kota tersebut, bukan janda yang untuk hidupnya sendiri tidak ada harapan. Namun Elia taat dengan perintah Tuhan.
Perkiraan mungkin petang hari ketika Elia tiba di Sarfat dan bertemu janda. Setelah melalui perjalanan panjang Elia kehausan dan meminta air untuk menghilangkan dahaganya.
Menariknya tanpa mengeluh, janda yang sedang mencari ranting kayu bakar itu rela mengambilkan air. Buat saya ini sudah sebuah hal yang luar biasa, karena ditengah kekeringan yang berkepanjangan tentu bukan hal yang mudah juga mencari dan mengambilkan air bersih untuk diminum.
Namun ketika sedang mengambilkan air, Elia memintanya untuk memberikan sepotong roti untuk mengisi perutnya.
Disitu lah janda tersebut memprotes, "Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak l dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."" (1 Raja 17:12)
Mungkin sudah berhari-hari janda ini mencari makanan, mungkin sudah berhari-hari mencoba meminta bantuan namun pada akhirnya nihil. Hari itu di tengah keputusasaan, dan sudah pasti hari tersebut tidak ada yang bisa dicari dan dimakan lagi, ia mencari ranting-ranting tersisa untuk membuat sepotong roti. Tepungnya tentu tidak banyak, karena hanya cukup untuk makan ia dan anak laki-lakinya (karena kalau ada lebih sedikit pasti ia akan menyimpannya untuk memperpanjang hidupnya, bahkan walau itu hanya sehari), namun ini tidak ada lagi yg tersisa.
Sangkin tidak adanya harapan Jadi ini adalah last supper. Wanita ini sudah siap untuk mati. Sangat bold. "... dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati.". Ini bukan sebuah kemungkinan tapi sebuah kepastian. Tidak ada pilihan lain selain makan dan mati. Mungkin ia sudah mempersiapkan racun pada rotinya, sehingga sehabis makan ia dan anaknya bisa mati. Atau mungkin setelah makan ia bisa membunuh anaknya dan dirinya untuk mengakhiri seluruh penderitaan dan keputusasaannya.
Ia dan anaknya makan roti terakhir bukan supaya memiliki tenaga untuk dapat berjuang lagi, mencari makan lagi, namun sebagai makanan terakhir untuk mengenang hidupnya. "...dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati."
Ia bahkan telah menerima kematian sebagai akhir yang tak terelakkan.
Namun di tengah kegelapan itu, Elia meminta hal yang tampaknya tidak tahu diri, tidak ada empati, tidak ada kasih: “Buatkanlah dahulu bagiku…” Bagaimana mungkin seseorang yang hanya memiliki satu-satunya makanan memberikannya kepada orang lain?
Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi." (1 Raja 17:13, 14)
Jadi sisa tepung terakhir itu Elia minta dibuat roti untuk dirinya. Lalu pulang, baru buatlah untuk dia dan anaknya. Jadi belum ada jaminan bahwa setelah tepung terakhir itu jadi roti, di makan Elia, masih tersisa tepung atau muncul tepung dan minyak baru di rumahnya setelah si janda pulang. Ada kemungkinan setelah memberikan Elia roti terakhirnya, dia pulang dan menemukan tempayannya tetap kosong, dan Elia menghilang.
Namun entah apa yang membuat janda tersebut percaya perkataan Elia dan melakukan tepat seperti yang dimianta oleh Elia.
Pararel...
Situasi saya saat ini hampir sama dengan janda tersebut. Saya tidak ada lagi yang tersisa. Semua resources yang saya miliki bahkan yang bisa dipinjam sudah digunakan tanpa punya jaminan akan ada 'roti tersedia' untuk esok. Bulan ini terakhir dan setelah ini "kami akan mati" (atau setidaknya saya).
Bahkan saya sudah berpikir setidaknya kalau saya mati akan ada "roti" tersedia untuk istri dan anak.
Sebagai seorang ayah yang berjuang di tempat kerja untuk menghidupi keluarga, mungkin kita sering merasa seperti janda Sarfat. Ada saat-saat ketika sumber daya tampak begitu terbatas, dan tekanan hidup terasa menyesakkan.
Namun disaat-saat seperti itu pertolongan Tuhan datang. Awalnya pertolongan itu datang bukan dalam bentuk pertolongan, namun lebih terlihat seperti beban, masalah yang bertambah, seorang beban tambahan dalam wujud Elia.
Namun dibalik beban masalah itu ternyata ada jalan keluar, bahkan lebih lagi, sebuah mujizat bisa terjadi.
Hal pertama yang bisa diambil dari kisah ini: se-desperate apapun kita dengan kehidupan, selalu berpihak kepada kehidupan. Perduli kepada orang lain dan berusaha menolong orang lain mungkin bisa menjadi jalan keluar bersama dan mujizat yang kita tunggu.
Kalau kita teruskan membaca kelanjutannya, kisah ini tidak berhenti sampai buli-buli minyak dan tepung mengalir tanpa henti bagi si janda, karena di tengah-tengah mujizat itu terjadi (minyak dan tepung masih terus tersedia), anak perempuan itu jatuh sakit hingga tidak ada nafasnya lagi.
Yes, saya tahu apa yang ada di kebanyakan pikira kita semua, 'untuk apa mujizat terjadi hanya untuk sedikit memperpanjang hidup yang ujung-ujungnya si anak akan mati?'. Dan janda ini sadar ia bukan orang yang benar, mungkin ia memiliki dosa masa lau sehingga ia pantas menerima hukuman ini (ay 18).
Hal kedua yang saya dapati dari kisah ini adalah: Tuhan berdaulat atas hidup kita. Ia bukan hanya Tuhan di waktu baik, namun Tuhan di waktu susah kita; tidak hanya Tuhan di waktu kenyang, namun juga Tuhan di waktu lapar. Tuhan tetap Tuhan bagaimana pun keadaan kita.
Segala sesuatu yang kita alami saat ini hanya circumstances; hari ini kita bisa lapar, besok bisa kenyang, hari ini bisa sehat besok bisa sakit. Siapa yang kita pilih untuk selalu bersama kita untuk melewati semua keadaan itu?
Bukan soal apa yang sedang kita hadapi, namun bersama siapa kita saat ini menghadapi semua keadaan tersebut?
Kita tidak tahu bagaimana dan seperti apa tahun 2025. Mungkin akan jauh lebih susah dari tahun ini, mungkin bisa jauh lebih baik dari tahun ini, namun apapun itu biar kita bisa membawa Tuhan bersama-sama dengan kita melalui semua keadaan itu; susah-senang, kaya-miskin, kenyang-lapar, hidup-bahkan mati, ada Tuhan yang selalu bersama dengan kita.