Dalam permainan tahta (Game of Throne) 'throne' biasanya berbicara mengenai kekuasaan, kemuliaan, dan kebesaran. Namun sebaliknya Kristus justru memperkenalkan Throne of Grace, tahta Kasih Karunia. Konsep mengenai Throne of Grace ini tidak dipahami sebelumnya, sehingga di Ibrani 4:16, penulis berusaha mendoro agar kita memiliki keberanian untuk masuk dan mendekat ke tahta tersebut.
Keberanian di sini bukan seperti truth or dare yang mengandalkan nyali, namun keberanian yang muncul dari pemahaman yang benar atas tahta tersebut.
Jadi apa saja pemahaman yang keliru atas tahta kasih Karunia?
1. Tahta itu sendiri
Umumnya tahta digunakan untuk berkuasa, dan rakyat mengabdi kepada penguasa. Itu sebabnya sering kali tahta justru mengintimidasi. Sedangkan bagi Kristus tahta digunakan untuk melayani.
Perbedaan ini terjadi, karena kita berkaca pada manusia (tahta manusia). Kita melihat anugerah sebagai hasil dari pekerjaan yang Tuhan lakukan pada orang lain, sehingga kita mulai membandingkan diri kita dengan apa yang Tuhan lakukan pada orang lain. Secara tidak sadar kita membentuk gambaran ideal orang yang seharusnya memiliki grace of God; sukses, sejahtera, punya keluarga yang harmonis, berkelimpahan, dll.
Orang-orang di gereja bisa sangat mengintimidasi, bahwa gambaran orang kristen adalah harus sukses, sejahtera, anaknya sopan-sopan, selalu riang-gembiara dimanapun situasinya. Kita lupa bahwa kita hanya bertemu orang-orang tersebut seminggu sekali di gereja dan kita tidak benar-benar tahu apa yang mereka hadapi dalam kesehariannya.
2. Play Blamegame
ketika kita bicara mengenai anugera, kita berpikir setidaknya ada sedikit saja hal yang perlu kita lakukan untuk mendapatkannya. Ada bagian yang perlu kita kerjakan dan ada bagian yang Tuhan kerjakan, sehingga bersama-sama kita dapat berhasil. Kenapa kita ingin sekali mengerjakan (atau berpikir untuk mengerjakan) sesuatu walaupun sedikit?
Agar kita punya ruang untuk tidak (terlalu) kecewa, ruang untuk disalahkan atau menyalahkan. Ketika berhasil maka kita akan dengan mudah berkata, "ini semua kasih Anugerah Tuhan", namun ketika gagal kita bisa menyalahkan diri kita karena part kecil yang menjadi bagian kita tidak dikerjakan dengan baik, atau dosa yang kita telah lakukan. Peristiwa serupa terjadi di Yohanes 9:1-5, ketika murid-murid Kristus mempertanyakan siapa yang salah atas kecacatan orang buta tersebut. Kita cendrung untuk mencari tahu siapa yang salah, siapa yang berdosa. Kita lupa bahwa jauh lebih penting untuk menyadari Kristus di tengah-tengah situasi tersebut.
Kasih Anugerah itu baik dalam berhasil maupun gagal, duka maupun suka, Kristus selalu bersama kita.
3. Datang dengan Rasa Curiga
Yang paling menghalangi untuk kita datang ke dalam kasih karunia Kristus adalah rasa curiga terhadap Tuhan. Contoh, ketika kita berada dalam sebuah krisis, kita berdoa dengan sungguh-sungguh, berpuasa, seolah hidup kita sangt bergantung dari doa dan puasa yang kita lakukan. Seolah-olah kalau kita tidak memohon kepada Tuhan dengan sangat, maka Tuhan akan enggan menolong kita.
Kita lupa, bahwa lebih dari pada kerinduan kita untuk diberkati, Tuhan lebih ingin lagi memberkati kita, itu sebabnya tidak ada pilihan lain selain mengirimkan Kristus, PutraNya yang tunggal untuk menebus kita.
Seperti hamba yang menerima 1 talenta dari tuannya (di kisah Matius 25:14-30). Semua yang hamba tersebut katakan adalah benar, bahwa tuannya, "...menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam." (Matius 25:24). Yang salah adalah cara berpikirnya yang keluar dari prasangka, bahwa seolah Tuannya mencari keuntungan dari dirinya.
Allah yang kita sembah adalah yang menuai di tempat yang Ia tidak menabur, dan memungut dari tempat Ia tidak menanam; Ia menuai hasil dosa dari dosa kita, dan memungut kelemahan dari kelemahan kita, agar kita memperoleh keberanian untuk mendekat dalam tahta kasih karuniaNya.