Ini hal yang saya sharing di minggu lalu di huddle office. Berkat dan kutuk itu bisa datang dalam satu hal yang sama. Misal: waktu. Panjang umur bisa menjadi berkat jika sehat namun kutuk jika panjang umur isinya sakit-sakitan. Begitu juga dengan uang. Semua sependapat uang itu berkat, bisa membawa kegembiraan untuk banyak orang, namun di sisi lain bisa menjadi pertikaian di tengah keluarga dalam bentuk perselisihan warisan.
Apa yg membedakannya?
Perspektif? Bukan.
Namun menyadari kehadiran Tuhan. Menyadari kehadiran Tuhan dengan ditunjukan melalui Gratitude, which rhymes with "attitude,".
Apa itu Gratitude? The quality of being thankful; readiness to show appreciation for and to return kindness. Gratitude bukan sekedar rasa syukur namun sebuah respon dari rasa syukur kita.
Coba berhenti sejenak dan pikirkan ini. Sadari nafas detik ini. Sudahkah kita bersyukur untuk nafas pagi ini?
Sudakah kita bersyukur untuk kesehatan hari ini? Bersyukur untuk orang tua, pasangan atau anak kita? Kapan terakhir kali kita ngobrol dengan mereka?
Bagaimana attitude kita jika hari ini adalah hari terakhir kita? Atau hari terakhir salah-satu dari mereka? Sudahkah kita cukup memberikan waktu, perhatian kita? Karena waktu tidak menunggu.
Ketika kita benar-benar nyeadari dan bersyukur untuk hari ini, maka kita tidak akan take it for granted hari ini dengan menjalankannya biasa-biasa saja, seperti melanjutkan hari kemarin. Kita akan live full life. Hidup sepenuhnya hari ini, dan ini akan terefleksi dalam pekerjaan kita, dalam inisiatif demi inisiatif yg kita ambil dan lakukan hari ini.
Rasa gratitude ini juga memberikan makna dalam hari kita. Makna dalam apa yang kita lakukan dan kerjakan.
Kalau dari dalam hati kita sendiri masih merasa kosong, tidak ada gratitude, maka kita akan berusaha mencari kekurangannya, ini akan tercermin dalam tindakan kita yang transaksional. "kalau gw lakukan ini apa untungnya buat gw?", atau, "Kalau gw begini apa benefitnya untuk gw?".
Namun ketika tindakan kita lahir dari rasa gratitude, maka dari dalam hati kita sendiri sudah penuh dengan rasa syukur, sehingga seluruh tindakan yang kita lakukan adalah luapan/kelimpahan rasa syukur. Ini nantinya akan terlihat pada atitude kita.
Terkadang kita perlu respon kita mendahului kondisi kita. Maksudnya begini, sering kali kita berpikir jika kondisi kita sudah ada dalam capaian tertentu baru kita sanggup untuk melakukan ini-itu atau hal lainnya. Ambil contoh yang sederhana, sering kita berpikir (termasuk saya), baru bisa menolong orang lain ketika diri kita sendiri sudah tidak memiliki masalah, sehingga memiliki kesanggupan untuk menolong orang lain.
Gak salah juga, bahkan untuk beberapa kasus memang demikian. Namun ternyata lebih banyak terjadi kita baru dapat menolong diri kita sendiri setelah kita menolong orang lain. Kita baru dapat menemukan solusi untuk diri kita setelah kita mencoba menolong orang lain. Kita baru dapat 'diberi' setelah memulai untuk belajar memberi ke orang lain. Ketika kita memulai dengan respon yang benar, inisiatif yang benar, kondisi kita ikut berubah, dunia kita ikut menjadi lebih positif, kesempatan demi kesempatan justru lebih terbuka untuk kita.
Sering kali justru respon kita membentuk kondisi kita, membangun atmosfer kita.