Gereja Kok Dibuat Seperti Perusahaan?

Gereja-Kok-Dibuat-Seperti-Perusahaan

Saya pernah menemukan komentar, “gereja kok dibuat seperti perusahaan?”. Dan ini yang menjadi pembukaan dari tema obrolan seru di iCare ProM Plaza Semanggi, yaitu “Authentic Church”.

Sebenarnya komentar tsb secara implisit mengatakan bahwa kegiatan menjalankan perusahaan atau bekerja, sedikit kurang mulia/rohani dibandingkan kegiatan di gereja.

Padahal dengan jelas kita diminta untuk, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 2:23, Ef 6:6–8)”. Jadi seharusnya tidak ada yang berbeda antara tindakan kita di tempat kerja dengan di gereja atau di rumah.

Salah-satu anggota iCare proM merespon, bahwa mungkin sikap kita tidak berbeda, tapi tujuan untuk menjalankan perusahaan dan gereja (pelayanan atau tempat ibadah) yang berbeda. Perusahaan mencari untung sebanyak-banyaknya, sedangkan gereja tidak mungkin bertujuan mencari profit sebanyak-banyaknya (eh, benar kan?).

Well, tidak salah jika menjalankan peruahaan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, namun tujuan itu tidak akan membawa usaha atau bisnis kita bertahan lama. Kamu bisa lihat perusahaan-perusahaan besar, khususnya saat ini, tujuan utama mereka adalah menolong orang, menjadi solusi bagi banyak orang. Kamu bisa lihat Google, Facebook, Airbnb, Uber atau Gojek. Siapa orang-orang yang mereka tolong? Masalah apa yang mereka selesaikan? Karena prinsipnya, bisnis yang akan besar dan bertahan lama, adalah bisnis yang menjadi solusi bagi masalah banyak orang.

Persis seperti yang katakan oleh James Chin, founder dari Sendle, ketika menolak funding senilai USD 1 juta,

“It goes right back to my philosophy around business — there doesn’t have to be a distinction between purpose and profit. The best businesses are the ones who can align their purpose as a business with their business model.”

“Sendle’s purpose is two-fold: to help Australian small businesses, and to have a positive environmental impact.”

Makanya kalau ada yang mau buat bisnis, idenya sederhana, cari masalah apa yang ada di lingkunganmu, karena bisa jadi itu adalah peluang bisnis masa depan.

Hal yang sama juga yang kita lakukan dengan gereja. Seharusnya fokus dari gereja adalah* people* dan memecahkan masalah mereka. Kalau kita datang ke gereja untuk melayani Tuhan, seharusnya itu hal yang sama juga yang kita lakukan di tempat kerja dan bisnis. Kalau kita berangkat bekerja dengan dorongan untuk mengembangkan potensi dan aktualisasi diri, maka semangat yang sama juga seharusnya yang kita bawa ketika berangkat ke gereja. Kalau kita di rumah berusaha untuk mengayomi, menolong, meng-encourage, maka usaha yang sama juga seharusnya kita lakukan di tempat kerja.

Selama saya tidak bisa bersikap di kantor seperti di gereja, atau di gereja seperti di kantor, atau di rumah seperti di gereja, tidak heran saya akan merasa tertekan di tempat kerja, tawar hati di gereja, dan tidak nyaman berada di rumah. Saya akan lelah, dan ketika salah-satunya kelepasan, maka saya akan menarik diri. Selain itu saya akan kesulitan membagi peran saya ketika berada di salah-satu zona tsb. Ketika saya menemukan tantangan dalam salah-satu bagian, saya akan bilang salah-satu yang lain sebagai hambatan. Solusinya saya hanya perlu untuk menjadi authentic ketika berada di kantor, atau di gereja, atau di rumah, atau di mana saja.

Authentic bukan soal menjadi apa adanya, namun kembali pada tujuan awal manusia diciptakan, yaitu segambar dan serupa dengan Pencipta, untuk memuliakan Penciptanya.

Joh Juda

Read more posts by this author.

Subscribe to

Get the latest posts delivered right to your inbox.

or subscribe via RSS with Feedly!