Work-Life Balance VS Work-Life Integration

IMG_1120
Memasuki perpanjangan PPKM (yang entah PPKM apa lagi namanya), bagi para profesional yang masih diberkahi bekerja dari rumah tentu ini menjadi tantangan tersendiri, apa lagi keadan tidak menjadi lebih baik, sebaliknya bertambah buruk.

Maka cukup relevan untuk kita ngomongin lagi mengenai work-life balance (WLB) dan apakah WLB ini masih relevan gak sih? Apalagi saat ini sudah ada yang namanya work-life integration (WLI).

Work-Life Integration

Gw kurang tahu dari mana awalnya ini muncul, namun salah-satu yang cukup mempopulerkan ini adalah Berkeley Business School, yaitu dalam program studi Humah Resource mereka. Program ini untuk membantu para karyawan mengintegrasikan antara pekerjaan dengan hidup (dan sebaliknya) agar harmoni dan sinergi.

Gagasannya adalah berangkat dari pengalaman sehari-hari kita di mana sering kali kita masih mengerjakan beberapa hal ketika di luar jam kerja (entah ketika kita bersama keluarga atau ketika kita seharusnya sudah tidur). Baik itu meeting, menyiapkan presentasi, atau sekedar mengirimkan email. Disebutkan ini adalah mengintegrasikan pekerjaan ke dalam kehidupan kita.
Maka seharusnya hal yang sama pun bisa dilakukan sebaliknya, yaitu mengintegrasikan hidup kita ke dalam pekerjaan. Misalnya di tengah bekerja kita sisipkan waktu untuk belanja, berolahraga, atau bahkan refreshing.

Secara konsep ini menarik, alih-alih membuat batasan yang jelas antara bekerja dan hidup, ini justru membuat batasan tersebut lebih halus dan fleksibel. Namun menurut gw WLI just another buzzword.

Why?

Pertama, selama kita masih memisahkan bekerja dari kehidupan kita, seolah bekerja adalah lawan dari hidup, maka mau namanya WLB atau WLI atau WLSynergi, semuanya tidak menyelesaikan masalah utama, yaitu cara pandang kita. Kita harus sadar dulu bahwa entah itu bekerja, sekolah, keluarga, beribadah, hobi, itu semua bagian dari hidup. Aspek yang gak bisa dipisahkan bahkan saling menunjang satu-sama lain. Jadi alih-alih WLB, yang lebih tepat justru Life Balance.

Kedua, WLI hanya cocok bagi yang memang punya kemewahan waktu yang fleksible, khususnya dalam bekerja. Punya time frame bekerja (atau aspek kehidupan selain bekerja) yang memang gak kaku. Kamu gak ingin dokter kamu ditengah-tengah operasi panjang dan melelahkan mengambil makan siangnya, atau seorang supir busway menjemput anaknya ditengah-tengah waktu kerjanya. Atau seorang pelajar berlatih e-sport ditengah-tengah waktu sekolahnya. Artinya untuk sebagian besar orang fleksibilitas adalah kemewahan. Namun satu yang pasti kita semua bisa lakukan, adalah beradaptasi.

Ketiga, hanya karena kita gak tahu cara main gitar bukan berarti piano lebih bagus dari gitar kan? Sama halnya dengan Life Balance, hanya karena kita gak paham konsep Life Balance bukan berarti WLI lebih baik.

Jadi apa sebenarnya Life Balance itu?

Konsep Life Balance yg benar bukan seperti gambaran timbangan konvensional (ini mah namanya work-life equal). Karena makin hari pekerjaan akan bertambah berat. Hidup juga semakin bertambah kompleks. Belajar juga semakin bertambah sulit. Jadi kalau balance dibenak kita adalah timbangan dan kita berdiri ditengah-tengahnya berusaha untuk seimbang, cepat atau lambat tuasnya yang akan patah. Ini yang kita kenal dengan burn-out.

Alih-alih timbangan konvensional (jungkat-jungkit), konsep timbangan yang tepat (jika kita bersihkeras menggunakan konsep timbangan) adalah timbangan geser. Di mana kita sebagai manusia yang dinamis, perlu bergeser ke aspek-aspek yang lebih berat, yang memang sedang lebih memerlukan perhatian kita. Di sini sebenarnya softskill kita dibutuhkan untuk bisa juggling dengan semua aspek yang ada dalam hidup.

Balance

Gw suka banget masak. Terlepas masakan tersebut enak atau tidak namun masak itu menjadi salah-satu sarana refreshing gw. Salah-satu channel Youtube favorit gw adalah Willgoz Kitchen, dan salah-satu tipsnya Willgoz untuk tahu apakah masakan tersebut bumbunya balance atau tidak adalah ketika kita cicipi masakan tersebut dan respon pertama kita adalah enak. Baru setelah itu kita elaborate enak itu karena ada komposisi rasa apa saja.

Balance itu enak, tanpa ada rasa yang mendominasi. Walaupun komposisi enak itu beda-beda (spektrumnya luas); ada yang pedas tapi pas, ada yang gurih tapi pas, ada yang asin tapi pas. Kalau balance itu equal artinya kan antara garam-gula-merica-lada harus sama banyak?
Yes, Kamu juga udah langsung kebayang kan rasanya seperti apa. Ancur.

Bahan masakan yang ingin diolah pun menentukan takaran bumbu. Pepes ikan asin sudah pasti gak perlu ditambah garam. Panggang ayam dan sapi punya takaran garam dan lada yang berbeda. Bahkan kalaupun bahan dan jenis masakannya sama (misal sama-sama mau buat rendang sapi), dengan komposisi bumbu yang berbeda rasanya bisa tetap sama-sama enak. Justru sering kali ketika kita ingin ikut-ikutan dengan orang lain, masakan kita jadi kurang begitu enak.

Nah sama halnya seperti hidup kita. Setiap orang adalah bahan makanan yang berbeda-beda, dengan masakan yang berbeda juga (tergantung tujuan hidup kita apa dan mau jadi seperti apa). Waktu pengolahannya pun berbeda-beda (time line hidup). Ada orang yang memang saat ini memerlukan waktu lebih banyak di pekerjaan mereka, sebaliknya ada orang yang mungkin saat ini tidak perlu bekerja sama sekali namun perlu fokus pada keluarga mereka atau hal lainnya.

Life Balance itu adalah ketika kita bisa menikmati hidup kita, bahkan bukan cuma diri kita, namun orang lain pun bisa menikmatinya. Sama seperti hidangan makanan tadi, tidak saja enak buat kita namun juga untuk orang lain.

Jadi bagaimana, apakah tipe Life Balance kamu dengan mengintegrasikan aspek-aspek hidup kamu, atau justru kamu tipe yang memberikan batasan yang tegas?
Sharing di comment ya.

Joh Juda

Read more posts by this author.

Subscribe to

Get the latest posts delivered right to your inbox.

or subscribe via RSS with Feedly!