Parenting: Apa Yang Bisa Kita Pelajari Dari Kasus Ivan Sugianto
Di posting kali ini saya akan bahas mengenai kasus Ivan Sugianto. Saya sengaja tidak membahasnya ketika kasus ini ketika lagi hot-hotnya, karena tujuannya bukan numpang viral. Blog ini juga bukan bertujuan untuk menilai benar-salah, karena saya bukan hakim dan tidak ada gunanya juga. Namun apa yang kita bisa pelajari dari peristiwa tersebut.
Bagi yang belum tahu, kronologi dan berita kasus ini bisa dibaca di_sini.
Videonya juga sudah tersebar di berbagai platform sosial media yang ada.
Ketika saya melihat video kejadian ini, perhatian saya justru berbeda dengan dengan kebanyakan orang (mungkin karena saya observer kali), sehingga ketika umumnya orang fokus pada perbuatan Pak Ivan yang sedang menyuruh anak tersebut sujud dan menggonggong, perhatian saya justru pada suara wanita di belakang kamera yang menyuruh anak tersebut untuk sujud, melakukan apa yang pak Ivan minta agar perkaranya cepat selesai.
Saya tidak ada di tempat kejadian, namun dari cerita yang saya dapat suara tersebut adalah suara sang ibu dari anak EN (korban).
Di satu sisi perhatian saya juga ada pada ayah dari anak EN di mana beliau setengah rela membiarkan anaknya membungkuk, sujud, dan baru berusaha maju menyudahi ketika anaknya disuruh menggonggong.
Sekali lagi saya sampaikan, saya tidak sedang bicara mengenai benar atau salah; saya bukan polisi moral. Saya juga tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di sana selain dari apa yang tertangkap kamera video. Namun apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini, khususnya sebagai orang tua.
Sewaktu saya SMP kelas 3,
atau mungkin SMA kelas 1, ketika saya masih mencuri-curi membawa mobil, saya menyerempet salah-satu mobil, karena kondisi di jalan memang sedang macet dan padat mobil. Karena saya tidak membawa uang cash, belum memiliki SIM, maka saya menyerahkan KTP saya, kebetulan tempat tinggal saya dengan pemilik mobil yang saya serempet berdekatan.
Besok malamnya si pemilik mobil datang ke rumah saya, disambut di ruang tamu. Hanya ada saya dan tante saya. Posisi saya baru dibangunkan karena orang ini datang. Saya lupa kejadian persisnya apa (karena saya masih setengah sadar), namun yang saya ingat orang tersebut mengamuk, menarik kerah baju saya, mengancam akan menghancurkan kepala saya dengan vas bunga yang digenggamnya, "Sekalian aja saya pecahkan kepala kamu biar impas dengan kerusakan mobil saya!!".
Tante saya sudah panik berusaha merelai, istri dari orang tersebut menarik tangan suaminya. Saya diam saja. Masih mengantuk.
Singkat cerita peristiwa tersebut sampailah di telinga orang tua saya ketika mereka pulang. Besoknya ayah saya, ibu saya, dan saya pergi ke rumah orang tersebut. Tanpa preman, tanpa bekingan, hanya kami bertiga. Bisa saja waktu kami bawa preman, karena separuh keturunan saya berdarah Timor NTT, namun tidak, itu tindakan pengecut.
Saya ingat peristiwa tersebut, bagaimana orang tua saya membela saya, bagaimana ayah saya dan ibu saya berhadapan dengan orang seisi rumah laki-laki tersebut, dan berakhir dengan orang tersebut minta maaf. Saat itu orang tersebut terlihat kecil sekali, mengkerut. Di rumahnya sendiri. Saya sadar bahwa tindakan dia kemarin itu ternyata untuk menutupi kekerdilan hatinya. Mungkin dia punya masa kecil yang sering ditindas.
Namun dari peristiwa tersebut yang tidak bisa saya lupa dan selalu saya ingat, bahwa kedua orang tua saya menyayangi dan melindungi saya, bagaimanapun kondisi saya. Mungkin saya salah, mungkin memang pantas dihajar, tapi bukan oleh orang lain. Walaupun ibu saya kecil, tua, tapi dia akan lakukan apapun untuk melindungi anak-anaknya. Sebelumnya saya merasa tidak punya hubungan yang baik dengan ayah saya, namun dari peristiwa itu saya tahu bahwa dia dengan cara-cara yang mungkin tidak saya lihat dan ketahui selama ini, melindungi anak-anaknya.
Dan ini yang saya ingat hingga sekarang. Menjadi memori kehidupan saya.
Apakah Anda tahu bahwa perlindungan pertama yang bisa didapatkan oleh seorang anak manusia adalah dari keluarganya?
Kalau saya jadi EN saat itu,
dengan segala ketakutan di tengah intimidasi dan kekacauan tersebut, saya cuma bisa berdoa dan berharap orang tua saya, suport system pertama saya, pelindung saya, ada mendukung saya.
Bukan justru yang menyuruh saya sujud dan melihat tanpa daya.
Mungkin juga saat itu orang tua EN takut, gentar, tidak berdaya menghadapi situasi tersebut.
Tidak hanya orang tua EN, faktanya setiap hari para orang tua lain pun, di level apapun pada tingkat dan status sosial apapun, berhadapan dengan ketakutannya masing-masing.
Takut tidak pantas menjadi orang tua yang baik, takut anaknya terlibat pergaulan yang buruk, takut anaknya disakiti, takut tidak dapat menghidupi keluarga, dan selusin ketakutan lainnya. Namun yang membuat kita sebagai orang tua bisa berani dan tabah, karena anak kita kan? Kita harus berani dan kuat agar kita bisa melindungi orang yang kita sayangi.
Setakut-takutnya saya tidak akan membiarkan anak saya sendirian melewati semua itu. Kalaupun saya tidak memiliki kuasa dalam situasi tersebut, setidaknya saya akan ikut sujud di sana, saya akan memohon ke Pak Ivan biar saya saja yang menggantikan sujud dan menggongong untuk memberi makan ego pak Ivan.
Melihat anak saya diperlakukan seperti itu, saya rasa saya bisa membunuh seseorang. Lalu menyerahkan diri.
Setelah itu saya sempat lihat cuplikan ibu korban menangis tersedu-sedu bahwa ia sakit hati sekali melihat anaknya diperlakukan demikian. Bagaimana tim pengacaranya melanjutkan gugatan dsb.
Maaf tante... sudah terlambat. Anak tante sudah gak dengar klarifikasi tersebut, karena yang dia lihat justru mamanya ikut menyuruh dia melakukan itu agar situasinya cepat berlalu. Yang dia ingat adalah ketika dia ada di titik terendah itu, walaupun orang tuanya ada di sana, orang tuanya tidak berbuat apa-apa.
Anak gak mendengar apa yang orang tua mereka ngomongin, mereka memperhatikan apa yang dilakukan orang tua mereka.
Harusnya sakit hati tersebut ditunjukan, bukan diceritakan.
Sebagai orang tua kita rela hidup apa saja untuk anak kita, apa lagi mati untuk mereka.
Justru yang berjuang untuk memulihkan harga diri anak adalah para orang tua murid sekolah SMAK Gloria 2 Surabaya yang tidak terima peristiwa tersebut menimpa salah-satu siswa, tidak terima sekolah mereka dipermalukan, terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya memberikan perlindungan dari terror dan intimidasi.
Saya tidak sedang memojokan orang tua EN. Saya tidak berada dilokasi kejadian, banyak hal yang tidak saya ketahui. Namun biar dari kejadian ini mengingatkan kita kembali, sebagai orang tua, apakah kita sudah menjadi orang tua yang memberikan perlindungan, pendidikan, pengajaran kepada anak-anak kita melalui contoh perbuatan, tindakan, yang bisa menginspirasi anak-anak kita menjadi orang yang hebat atau malah justru prilaku kita mengkerdilkan anak-anak kita seperti apa yang Pak Ivan contohkan kepada anaknya.
Sebagai orang tua kita perlu memberikan ruang bagi anak-anak kita untuk menyelesaikan konflik mereka secara mandiri, sehat dan fair, namun sebagai orang tua kita perlu memproteksi keamanan anak, martabat anak, karakter anak, dan emosi anak.
Di satu sisi, dalam bentuk apapun saya tidak membenarnkan tindakan Pak Ivan, namun saya bisa mengerti insting untuk memproteksi anggota keluarganya. Sayangnya karena kebiasaan sehari-hari adalah mengintimidasi orang, menekan orang susah, sehingga secara insting bentuk proteksi tersebut adalah dengan tindakan yang sangta tidak terpuji.
Makanya para ayah, hati-hati dengan apa yang menjadi kebiasaan kita, pekerjaan kita, prilaku kita, karena itu semua yang akan keluar ketika kita menghadapi masalah. Kebiasaan-kebiasaan tersebut yang menentukan apakah menyelamatkan kita atau menjadi bencana bagi kita dan keluarga.