Tahun 2024 menjadi salah satu tahun terberat dalam hidup saya dan keluarga. Setiap langkah terasa seperti menyeret mayat. Berat. Penuh dengan tantangan yang menguji hati, pikiran, bahkan iman.
Awal tahun ini...
kami terpaksa pindah ke tempat tinggal yang lebih kecil. Sebuah keputusan yang tidak mudah, terutama karena dampaknya terhadap anak-anak kami yang masih kecil. Mereka kesulitan beradaptasi, dan itu terlihat dari sikap mereka, khususnya anak pertama kami. Rebbelnya di sekolah dan di rumah memerlukan penanganan khusus.
Sebagai orang tua, ini menjadi tantangan besar, karena berarti mereka membutuhkan lebih banyak perhatian dan waktu.
Namun, waktu justru menjadi sesuatu yang semakin sulit saya berikan. Jarak antara tempat kerja dan rumah menguras banyak energi dan waktu di jalan, meninggalkan lebih sedikit momen terlibat bersama keluarga. Ada rasa bersalah, terutama ketika saya melihat istri harus menangani begitu banyak hal di rumah.
Keputusan Besar dan Biaya yang Menguras Emosi
Perpindahan tempat tinggal dan pekerjaan membawa konsekuensi lainnya. Kami harus memindahkan sekolah anak ke daerah baru, yang berarti biaya yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Di tahun depan, kedua anak kami akan masuk sekolah bersamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami, keputusan besar harus diambil: melepas salah satu aset keluarga untuk biaya pendidikan mereka.
Tanggal 31 Agustus 2024 adalah momen yang tidak akan pernah saya lupakan. Hari itu, saya bersama anak-anak yang masih kecil mengantar istri ke toko emas untuk menjual perhiasannya demi membayar uang sekolah anak-anak. Sebagai seorang suami, hati saya hancur. Perasaan gagal memenuhi kebutuhan keluarga sebagai kepala rumah tangga menghujam kepala.
Tantangan di Tempat Kerja
Tantangan di rumah seolah berusaha mencari teman berjalan beriringan dan bertemu dengan tantangan di tempat kerja. Saya tidak pernah menyangka bahwa adaptasi di tempat baru akan memakan waktu selama ini. Cash flow perusahaan menjadi masalah besar, dan ada bulan-bulan di mana harus berjuang keras hanya untuk memastikan karyawan mendapatkan gaji mereka tepat waktu.
Tahun ini terasa seperti tahun bertahan hidup. Saya dan istri masuk dalam mode survival, dengan emosi yang sering kali jatuh dan mental yang terkuras. Ada momen-momen di mana rasanya kami sudah sampai pada batas kemampuan kami sebagai manusia.
Kabar yang Mengubah Segalanya...
Puncaknya tanggal 5 November 2024 kami mendapat vonis atas anak pertama kami. Bermula dari prilakunya di sekolah, di ruang publik, bahkan di rumah. Sudah lama saya menaruh curiga namun saya abaikan, mungkin juga denial. Akhirnya kami putuskan untuk membawanya ke klinik Psikologi tumbuh kembang anak. Tes yang diambil adalah prilaku/behavior dan tes kecerdasan, hasilnya ia didiagnosis dengan Asperger Syndrome.
Mungkin kamu pernah alami ketika kamu tahu anggota keluarga kamu sakit kritis, mungkin kamu juga sudah siap, namun ada perasaan berbeda ketika itu disampaikan atau divonis langsung oleh dokter.
Demikian perasaan saya saat itu. Seperti saya bilang, walaupun mungkin selama ini diam-diam saya curiga, namun begitu hasilnya keluar dan disampaikan seperti pukulan keras bagi saya sebagai ayahnya. Perasaan menyalahkan diri, menyalahkan gen, menyalahkan keadaan, menyalahkan semua yang bisa disalahkan.
Banyak pertanyaan muncul dalam benak saya: apakah saya cukup kuat menjadi ayah yang dibutuhkan anak saya? Bagaimana saya bisa membantunya menghadapi dunia?
Selalu Dia Yang Setia...
Saya pikir istri saya lebih perlu untuk dikuatkan, namun ternyata sayalah yang lebih hancur.
Siang itu, setelah mendapat vonis tersebut, kami berdoa. Saya tidak dapat berkata apa-apa. Istri sayalah yang berdoa untuk kami, namun kata-katanya dalam doa tersebut yang menguatkan dan meneguhkan saya.
Bahwa dokter, pskiatri, atau psikolog bisa sampaikan apa saja, namun itu bukan vonis. Anak-anak ini adalah titipan Tuhan, maka jika ada yang tidak kita mengerti maka kita perlu kembali pada Penciptanya. Ini bukan vonis hasil akhir, namun untuk memberitahukan kita bagaimana cara memperlakukan dan berkomunikasi dengan anak kita.
Dan malam itu sebelum saya tidur saya mendapatkan ayat ini:
"Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya."
(1 Korintus 10:13)
Ini ayat yang basi banget sebenarnya; terlalu sering dan gampang kita nasehati orang lain yang sedang mengalami masalah yang berat. Namun saat membaca ayat ini, bahkan saat ini di kantor, air mata saya tak bisa dibendung. Ayat ini mengingatkan saya bahwa Tuhan setia. Dia tahu batas kemampuan saya dan keluarga. Dia juga yang telah menyediakan jalan keluar, yang mungkin saat belum terlihat.
Dia Allah yang berdaulat atas hidup saya dan keluarga. Dia Tuhan dalam setiap musim, Tuhan dalam setiap keadaan. Hanya karena banyak peristiwa atau kejadian buruk yang saya alami dalam hidup bukan berarti Tuhan tidak ada. Seperti kisah Ayub, Tuhan setia; ada di waktu senang apa lagi di waktu susah.
Kita bisa menyebutNya 'Sahabat', karena kita bertemu dengan sahabat di titik terendah kita. Saat ini saya berada di titik tersebut, namun Ia setia, ...dan karena itu Ia tidak akan membiarkan aku dicobai melampaui kekuatanku.
Jika kamu sedang berada di masa sulit, ijinkan blog ini mengingatkanmu: Tuhan tidak pernah meninggalkan Anda. Dia akan memberikan kekuatan untuk menanggung setiap beban dan membuka jalan keluar pada waktu-Nya. Tetaplah percaya, karena selalu ada harapan di dalam Kristus. God blessed you.