Meragukan Akademisi

20240215_094157
Saya masih ingat ketika SMP, di awal-awal tahun ajar, guru sejarah saya bercerita bahawa mengajar angkatan kami tidak semenantang mengajarkan kakak kelas kami. Ia tidak akan berani masuk kelas kalau tidak menguasai pelajaran, karena kakak-kakak kelas kami sangat kritis, mereka membaca pelajaran sebelum masuk kelas.

Entah itu benar atau tidak, but it hit me. Dia berhasil membuat saya rajin membaca buku semalam sebelum kelasnya. Bahkan lebih jauh, saya mulai hobi ke perpustakaan hanya dengan tujuan mencari kesalahan guru tersebut ketika mengajar. Dan itu berlanjut hingga ke jenjang berikutnya. Di SMA saya pun sangat familiar dengan budaya berargumentasi dan berdebat antara guru dan murid. Bahkan ketika kuliah, guru filsafat umum saya ogah masuk kelas kalau gak nguasai bahan. Saya berdebat (secara intelektual tentunya) soal sosialis, komunis dan Karl Max dengan beliau. Bahkan ia sempat ngomel, "saya males masuk kelas ini kalau ada kamu. Saya harus baca ulang kembali filsafat ilmu.". Konteksnya tentu bercanda.

Di sini lah saya rasa pencapaian terbaik seorang guru atau pendidik adalah ketika menumbuhkan rasa ingin tahu dan minat muridnya untuk mencari pengetahuan lebih lagi. Guru atau pendidik yang hanya membawakan materi dengan gaya: "pokoknya kamu hafalin yg ini aja karena ini yang keluar di ujian", atau, "pelajari bagian yg ini, gak usah banyak tanya", adalah guru yang paling saya gak minati di kelas. Apa lagi kalau tidak bersedia didebat. Dan saya bersyukur tidak punya banyak guru/dosen model seperti ini dalam perjalanan pendidikan saya.

Makanya merupakan logical fallacy kalau ada yang ngomong, "masa guru besar lu ragukan?", "masa akademisi lu gak percaya?". Istilahnya ini, Hasty generalization. Justru kita perlu verifikasi, dan di era sekarang sangat mudah untuk meng-verifikasi informasi, ilmu dan pengetahuan (asal kita mau). Kita tidak perlu berjam-jam habiskan waktu di perpustakaan karena semua ada dalam genggaman kita saat ini. Hanya karena seorang guru besar bukan berarti ia paling pintar, dan hanya karena dia selebriti atau tukang gali kabel, kita abaikan ucapan mereka.

Kalau bukan Nikola Tesla, mungkin kita tidak akan mengenal dan menggunakan listrik seperti saat ini, bahkan tidak ada wireless charging. Oh jangan salah, Tesla pernah jadi tukang galian kabel, guys. Kalau dia dinilai hanya dari profesi yang ia lakukan, dunia tidak akan tahu jenius seperti dia. Seperti halnya Albert Einstein pun yang hanya staf pada sebuah kantor paten. Kalau ia hanya dinilai dari profesinya semata saat itu, tentu jurnal-jurnalnya tidak akan diterbitkan apa lagi dibaca.

"Ok, saya ngerti maksud lu, Jud, untuk tidak menggeneralkan seseorang hanya dari profesi mereka. Tapi apa dong refrensi knowledge kita? Google?"

Wait. Elon Mask belajar bikin roket dari internet, bro. Modal googling. Justru saat ini akses informasi terbuka luas, gak ada alasan gak dimanfaatkan untuk belajar.

Ada satu hal menarik yang disampaikan oleh Dr. Hendi Pratama, salah-satu dosen dan akademis Univ. Negeri Semarang, mengenai proses belajar generasi sekarang (Gen Z) di youtube Dr. Indrawan Nugroho.
Jaman sekarang akses informasi ada di mana-mana, jadi kalau seorang pengajar hanya sebagai 'petugas' penyampai informasi, mereka akan kehilangan perannya, karena akses GenZ lebih banyak, lebih cepat dan lebih luas dari sekedar satu orang guru/dosen. Kita harus sadar bahwa kapasitas seorang guru terbatas jika diadu dengan mesin pencari apa lagi dengan AI. Makanya peran guru/pengajar mesti berubah. Caranya juga berbeda. Murid di sekolah memvalidasi setiap perkataan dosen. Dosen atau guru besar bukan orang yang paling pintar di kelas.

Generasi kita memerlukan pengajar bukan untuk mengajarkan mereka atau menyampaikan ilmu, namun sebagai pendamping dan pendorong pembelajaran agar murid dapat berpikir secara kritis, terbuka dengan pendekatan ilmiah. Kemampuan untuk mengumpulkan informasi, memproses, lalu memperaktekannya secara sehat; karena sebenarnya ini basic dari kecerdasaran manusia.

Kalau pengajar menghasilkan murid yang berhenti untuk bertanya, berhenti untuk mencoba, berhenti untuk meragukan, dan tinggal duduk terima aja, maka itu lah kiamat dari pendidikan.

Joh Juda

Read more posts by this author.

Subscribe to

Get the latest posts delivered right to your inbox.

or subscribe via RSS with Feedly!